Pengemis "BUTA"

Stasiun kereta api berangsur-angsur ramai. Ini memang jam-jam keberangkatan untuk kereta api malam. Orang-orang mulai mondar-mandir. Ada yang mebeli karcis, ada yang duduk-duduk santai, ada yang makan, ada yang tidur, ada yang jual koran, ada juga penjual yang sibuk menawarkan jualanannya. Suasana seperti ini memang menjadi pemandangan yang biasa di stasiun ibukota salah satu provinsi ini. 

saya juga sibuk menyusun kembali jualanan eyang saya. saya menyusun berbagai makanan di etalase tak berkaca. saya susun serapi mungkin berharap ada yang tertarik membeli. walaupun harganya yaaaaaaa selangit lah.. rata-rata semua jajaran penjual makanan memang membandrol harga jualanan mereka dengan harga yang tinggi. 

ketika itu saya baru tamat SMA. saya sudah diterima disalah satu perguruan tinggi negeri. oleh karena itu saya tinggal semestara dengan eyang saya. sebenarnya belum waktunya untuk kuliah, tapi ketika itu saya ada jadwal technikal meeting. Malamnya saya biasa membantu eyang kakung dan eyang puteri berjualan diruko kecil di stasiun kota.

lama saya duduk didepan toko sambil menikmati bermacam-macam pola tingkah orang disana. semakin malam, semakin ramai. biasanya stasiun ramai mulai jam 5 sore hingga jam 9 malam. saya duduk santai didepan toko. bedanya dengan toko sebelah, saya tidak berteriak-teriak seperti SPG. saya hanya duduk dengan tenang sembari asyik melahap pemandangan yang sangat ramai. ada bermacam-macam karakter orang disana.

lama saya menikmati wajah orang-orang disekeliling saya, pandangan saya terpaku pada dua orang ibu bapak yang sudah tua. usia mereka mungkin sudah setengah abad. pakaian mereka lusuh, kotor dan compang-camping. si ibu menuntun si bapak yang ternyata seorang tuna netra. si ibu membawa tas samping dan si bapak membawa sebuah mangkuk lusuh. lama saya memandangi mereka. ketika si ibu dan si bapak mendekati orang-orang disana satu persatu, saya dengan cermat melihat tingkah laku mereka. sungguh menarik.

ada orang yang iba, lalu memberi sedikit rejeki. ada juga orang yang cuek-cuek saja. rata-rata orang yang iba hanya memberi uang 1000 rupiah saja. tapi dengan orang sebanyak ini? apalagi setiap orang disini pergi silih berganti. Yaahhh,, minimal si ibu dan si bapak ini mendapat simbati sekitar 50 orang. jadi uang yang mereka terima satu hari mungkin sekitar 50.000 minimal.. saya pikir mungkin 50.000 cukup untuk membiayai hidup mereka berdua.

tentu saja saya iba. saya segera kedalam toko, mengambil dompet dan uang ribuan. 
eyang saya bertanya "untuk apa mba?"... 
saya jawab "untuk pengemis yang.." 
sayang segera kembali keluar sementara eyang meneruskan kerjanya.

tapi sayangnya, si ibu dan si bapak pengemis tadi sudah luput dari pandangan mata saya. saya mencari kemana-mana tapi tidak ada. Yaahh sia-sialah niat baik saya. yah sudahlah, yang penting saya sudah berniat baik. yang penting sudah dicatat malaikat. besok kalau mereka kembali lagi saya akan memberi lebih. hitung-hitung amal....

**
Besoknya saya kembali menjalani aktivitas saya dengan membantu eyang kembali. Lama saya menunggu si ibu dan si bapak pengemis. tapi tidak datang juga. namun sekitar jam 8 malam, si ibu dan si bapak pengemis yang sama muncul juga. saya buru-buru kedalam dan mengambil dompet saya. sangat disayangkan, dompet saya tinggal dirumah. Wah, sayang sekali.... 

si ibu dan si bapak kemudian ke toko eyang saya. mereka minta minum. mungkin mereka haus sudah berjalan jauh, pikir saya. lalu eyang puteri memberi mereka air mineral kemasan gelas dengan cuma-cuma. mereka kemudian berterima-kasih lalu pergi dan mengemis kembali.

sekitar jam 9 saya dan eyang bergegas pulang kerumah. stasiun sudah mulai sepi, orang-orangpun sudah mulai berkurang. kami pulang naik angkot. kami duduk di bangku tengah. sekilas saya melihat si ibu dan si bapak pengemis naik angkot juga. saya melirik kebelakang kemudian cepat-cepat sok-sok tidak kenal (memang tidak kenal sih...)

angkot berjalan, bunyi handphone berdering, bukan hp saya. bukan pula hp mamang supir. lalu saya memasang telinga dengan sangat lebar.

"halo.. iya.. mama benter lagi pulang.."
"mau dibawa'in apaa??"
"hahh?? sateee..?? iyaaa....iyaaa..."

saya terkejut*
menoleh kebelakang sekilas, mata saya melotot. lalu dicolek eyang puteri.
percakapan berlanjut.
"mau berapa tusuk? hah? 10? kedikitan! 30 ya!!"

toeng*
"beli dimana? di **** (sensor)?"
"jangan! nanti mama beli di tempat yang paling enak.."
"yaa... besok kita beli lagi..!"

saya membelalak!
"pa, ini anak kita minta dibeliin sate 30 tusuk"
"ya sudah beliin saja..."
"ini pa hapenya, simpenin.."
"iya..."

APAAAAAAAAAAA????
dan pemirsa!! si bapak ternyata tidak buta!!
si ibu ternyata punya hape canggih!
sayangnya saya gak nanya hapenya merek apa..mungkin iPhone 5! mungkin juga Blackberry.. mungkin juga Apple.. atau Android.. biar bisa ngecek dari internet tempat mana yang bisa dijadiin target operasi..

**
hari selanjutnya, saya sangat menanti-nanti kehadiran si bapak dan si ibu pengemis. niat saya hari itu adalah menyodorkan kepada si bapak uang 1000 ditangan kiri saya dan 50.000 ditangan kanan saya. saya suruhlah si bapak memilih yang mana. jika dia memilih uang 50.000 itu tandanya dia tidak buta mata!

lama saya menunggu sampai stasiun sepi tapi hasilnya nihil! saya kecewa! ternyata Tuhan tidak mengizinkan saya menemui mereka lagi. hingga hari inipun saya belum kembali ke stasiun. saya rasa si ibu dan si bapak sekarang sudah membangun rumah 3 lantai.

saya ingat, mereka tidaklah pincang, mereka juga tidak cacat fisik, mereka bisa berjalan dengan sempurna, mereka bisa berbicara dengan fasih. tapi mengapa mereka melakukan kebohongan publik. lama saya berpikir, akhirnya saya sadar bahwa sayalah yang tidak pintar melihat keadaan. rejeki saya memang 2,5 % milik mereka. tapi mereka yang benar-benar membutuhkan. 

mereka hanya menjual rasa iba, rasa kasihan, dengan mengumbar wajah sedih dengan kemampuan fisik mereka yang tidak kurang satu apapun. Pengamen malah lebih baik daripada pengemis 'sempurna fisik'. Pengamen masih memiliki sesuatu yang dijual, yaitu suara mereka. Tukang koran, penjual kaki lima, petugas kebersihan, pengangkut sampah dan lain-lain. Menjual tenaga dan jasa yang sepantasnya. bukan menengadah menunggu belas kasihan tanpa usaha. Toh untuk ngunyah makanan saja susah kok, apalagi untuk mendapat sepeser uang.

saya benar-benar tidak habis pikir.
saya benar-benar bodoh mengasihani orang yang tidak patut dikasihani.

akhirnya saya sadar, si pengemis itu memang buta. buta hati, buta pikiran, buta kehidupan, buta-buta demikian lebih parah dari buta panca indera. Bahkan Hellen Keller pun bisa berguna bagi orang banyak tanpa pendengaran, tanpa penglihatan dan tanpa suara.

mungkin mereka hanyalah contoh dari sekian banyak pengemis kaya di negeri ini. mungkin sekarang mereka sedang membangun sawah, rumah atau bahkan mereka punya mobil mercedes, dengan PALING SEDIKIT 50.000 perhari. bayangkan berapa yang mereka dapatkan untuk satu bulan? satu tahun? jika mereka mendapat 50.000  untuk satu tempat lokasi perhari, berapa yang mereka dapat jika mengemis di 3 tempat? 150.000 perhari.. perbulan? pertahun?

pengalaman memang guru paling berharga! saya yakin setelah 3 tahun ini mereka masih hidup (si pengemis itu).. saya hanya berharap semoga mereka belum buta beneran. penampilan memang menipu siapa saja yang merasa iba...

mengemis terbaik hanya dihadapan Tuhan..


Komentar