Juli 2021

 Tahun 2021 sudah akan berakhir. Alhamdulillah, tidak menyangka bahwa tahun ini lewat dengan amat sangat cepat. Dan tidak menyangka bahwa tahun ini banyak sekali hal yang kami alami. Kami sekeluarga.


Bisa dibilang tahun ini adalah ujian terberat kami. Di awal tahun, ibu dan bapak sempat main ke Bogor. Nganterin pipin pulang. Kami singgah ke rumah nenek di Palembang. Kemarin pinginnya semua ikut ke Bogor sekalian jalan², tapi suamik tidak bisa karena harus kerja. Akhirnya direncakan next planning saja. Qodarullah, ternyata itu adalah terakhir kalinya Bapak mengantar Pipin ke Bogor. 


Juli, kasus covid sedang naek daun. Vaksin masih antri sepanjang jalan kenangan. Aku dapet info vaksin, dan besokny langsung bergegas. Karena vaksin masih jarang, maka kami putuskan untuk menunggu info dan jadwal vaksin di Puskes. Karena vaksin massal selalu rame, kasian ibu bapak kalo harus ngantri panjang. 


Idul adha, ibu dan bapak sakit. Kedokterpun sudah beberapa kali. Khawatir ya Allah. Mana dua dua nya sakit. Mau ke rumah sakit tapi kamar sudah full. Bayangkan pada saat itu pasien covid membludak. Dan tentu saja kami was was terhadap kemungkinan terburuknya. Ditambah lagi dirumah ada bayik yang belum bisa pake masker. Berkali kali tanya ke ibu bapak, sesak tidak. Dijawab tidak. Tapi ibu batuk. Ibu lemes, badannya kurus mashaaAllah, kepalanya pusing. Dan bapak juga pusing yang pusing pusing pusing, saking pusingnya. Waktu itu cape nya bukan main. Harus ngurus rumah, ngurus Hanin, ngurus ibu bapak. Berbagi dengan adek. Panik luar biasa. Gak tau kemana ngadu. Ke rumah sakit rame, nginep gak ada kamar, ke dokter gak ada perubahan. Ditambah waktu itu Hanin selalu bangun tengah malam, jam 2 jam 3, bangun tidur trus maen di dapur. Allahu Akbar ngantuknya sampe ketiduran di kursi nunggui Hanin maen. Besoknya daripada ketiduran, akhirnya aku beberes rumah. Masak bubur tiap hari untuk ibu bapak sepagi itu. Cuci piring, beres dapur, nyapu, sepagi itu..


Tiap pagi selalu denger beduk di masjid. Kasih tau bahwa ada yang meninggal. TIAP HARI. Kadang 2 orang,kadang 3 orang. Dalem hati berdoa semoga nama kami tidak ikut disiarkan di masjid. Sempet panik karena flu batuk dan anosmia. MashaaAllah. Pake masker 2 ply pas tidur, pake handsanitizer sebelum megang Hanin. Khawatir bertubi². Mau cek ke rs malah makin panik. Akhirnya tiap hari minum vitamin, makanpun tidak selera karena mikir ibu bapak. Timbangan sukses turun 3 kg.


Rabu di Juli, ibu bapak kami putuskan dirawat ke ME. Hasil swab negatif alhamdulillah. Yang bisa nganter cuma adek. Merasa bersalah luar biasa. Disini ada Hanin yang harus diurus. Disana ada ibu bapak pun yang harus diurus. Andai bisa, aku membelah diri. Kutemani kemanapun ibu bapak mau berobat. Mau ke ujung duniapun kulewati. Tapi apalah daya, bayi yang belum 2 tahun ini masih harus diawasi. Dan akhirnya kami hanya berdua dirumah. Rasa takut dan khawatir selalu ditepis. Bagaimanapun harus berani. Harus bisa.


Hingga akhirnya keadaan bapak yang makin drop dengan saturasi hanya 45. Buat aku deg deg an tiap hari dan cuma bisa berdoa. Semoga ibu bapak kembali ke rumah dalam keadaan sehat. Aku disini bukannya tidak kuat, tidak ada yang bisa menguatkan. Sedangkan didepan Hanin tidak boleh menangis. Hingga Kamis malam Jumat, adek telpon berkali² tapi tidak kuangkat karena lagi yasinan. Diayat ke 20an aku baru sadar bahwa ada telpon dari adek. Dan berlinanglah air mata adek. Bapak sudah tiada mba. Aku harus apa? Disaat seperti itu tidak ada yang bisa kupeluk. Akupun tidak bisa membayangkan jika menjadi adek yang persis memegang tangan bapak disaat terakhir. Adekku menangis sejadi jadinya. Lalu aku bisa apa? Selain bilang astaghfirullah berkali-kali. Aku disinipun bisa apa? Selain memeluk diri sendiri dan memandang Hanin yang sudah tidur. 


Jam 12malam ibu dan adek sampe duluan. Jam 3 jenazah bapak dan suami sampai. Dari kejauhan kudengar suara ambulance. Dan ambulance berhenti tepat didepan kamar. Hingga sekarang aku trauma jika mendengar suara sirine ambulance. Bapak diturunkan dan disitu aku melihat bapak tersenyum. Belum sadar bahwa bapak sudah tidak ada. Yang kulihat bapak hanya tidur. Rasanya pagi berlalu begitu lama. Aku harus tetap waras didepan anak. Harus tetap kuat didepan banyak orang. Tanpa mereka tahu, betapa aku penuh penyesalan dan merapuh serapuh-rapuhnya. 


Akhirnya, nama bapak diumumkan dimasjid jumat pagi. Dan aku berharap itu adalah nama terakhir. Rasanya ya Allah, hanya Allah yang tau. Sebelum dimandikan kami disuruh memeluk bapak untuk terakhir kalinya. Disanalah kupegang wajah bapak, tangan bapak, dan disanalah aku sadar bahwa semua sudah dingin, sudah kaku, sudah tak berdetak. MashaaAllah, bapakku benar2 sudah pergi. Akupun minta maaf karena selalu melawan beliau, selalu tidak sependapat dengan beliau, dan berharap kita nanti bertemu lagi ya Pak, di Jannah. Aamiin. 


Apa kabar adikku yang Bogor. MashaaAllah jika kami bisa bertemu, kami pastikan kami bertemu di hari itu juga. Tapi qodarullah, saat itu penerbangan dilarang, jalur darat dan laut dibatasi. Hanya Allah yang maha kuasa yang tau perjuangannya untuk bisa pulang. Hanya Allah yang tau isi hatinya yang tidak bisa melihat bapak untuk terakhir kalinya. Aku sedikit bersyukur bisa masak untuk ibu bapak disaat beliau sakit, bahkan pagi sebelum ke rs kupijit bapak dengan minyak but but untuk meringankan rasa pusingnya. Begitupun dengan ibu. Kubalur telapak kaki, tangan, badan kepala supaya mereka hangat. Menyiapkan makan minum untuk mereka ditengah menjaga Hanin yang sedang aktif² nya.


Tahun ini, kesedihan menghampiri kami. Kehilangan bagian anggota keluarga kami. Kami kemana² ber 5. Ibu, bapak, ira, pipin, ayu. Mulai dari merasakan pake mobil gerobak merah, sampe ke sekarang mobil kijang yang setia bawa kami kesana sini. Tak heran kalau ibu selalu nangis didalam mobil itu. Banyak kenangan... Terima kasih bapak yang sudah menguras keringat, membanting tulang bekerja hingga kami bisa seperti sekarang. Hingga kami bisa menikmati hidup layak seperti sekarang. Terima kasih telah memberi kami pendidikan agama yang baik hingga kami berusaha untuk selalu shalat 5 waktu ditambah sunnah² nya. Kami bisa mengaji, kami bisa berhitung, kami bisa membaca, kami bisa sekolah, semua karena perjuangan ibu dan bapak. Cinta yang tak terbatas antara ibu dan bapak. Cara mempertahankan rumah tangga walau perbedaan dimana-mana, dapat kami jadikan contoh hal yang baik²nya. Rumah ini rasanya hampa, ada yang kurang, sepi, tidak ada lagi yang melindungi. Rumah ini berbeda dan berubah. Tapi hidup memang tentang perubahan..perubahan dan perpindahan.. 


Semoga Allah hadiahkan surga tanpa hisab bagi kedua orang tua kami..




Komentar